Tokoh

Seni “Meracik” Desa Ala Sarjana Farmasi (Bagian I)

pada

Kebanyakan sarjana atau alumni dari Farmasi UGM biasanya mengambil profesi sesuai dengan keahlian yang telah dipelajari di kampusnya. Beberapa di bidang industri dan kesehatan, atau mengambil profesi sebagai apoteker. Namun, bagaimana jika seorang sarjana farmasi menjadi kepala desa atau lurah?

Ia adalah Wahyudi Anggoro Hadi, atau kerap dikenal sebagai Pak Lurah Wahyudi. Di balik perawakannya, Lurah Wahyudi ternyata menyimpan banyak prestasi. Dia lah orang di balik kesuksesan Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Desa Panggungharjo berhasil mengantongi berbagai penghargaan baik tingkat daerah maupun nasional. Di antaranya Juara 1 Perlombaan Desa Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri tahun 2014.

Di tahun yang sama, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memberi penghargaan kepada Desa Panggungharjo sebagai Desa Model Anti Korupsi karena akuntabilitas dan transparasi pemerintahan yang baik dan patut dijadikan model bagi desa lainnya.

Pria sederhana nan bersahaja ini merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara. Bapak dan ibunya masing-masing berprofesi sebagai pegawai negeri sipil dan pedagang pasar.

Lahir dari keluarga dengan jumlah anggota yang besar, kehidupan ekonomi keluarganya terbilang pas-pasan. Bahkan hingga kelas 6 Sekolah Dasar (SD), Wahyudi kecil hanya mempunyai satu pasang seragam sekolah untuk ia kenakan.

“Saya cuma punya satu seragam, itupun bagian celananya berlubang,” paparnya.

Namun, tidak terlihat kekecewaan atau rasa sedih atas kondisi masa lalunya itu. Sebaliknya, keadaan itu justru menjadi penyemangat bagi Wahyudi untuk melakukan perubahan dan inovasi.

Wahyudi mengakui, sikap kepemimpinannya didapatkan dari sang Bapak. ”Bapak saya orang yang demokratis, beliau tidak pernah memberikan batasan terhadap pilihan hidup anaknya,” ungkapnya.

Menurutnya, sikap demokratis dari keluarga itulah yang memberinya celah untuk maju. Kebebasan berkreasi dan menentukan masa depan yang diberikan sang Bapak tidak menjadikannya lepas kendali.

Ia tetap mempertanggungjawabkan pilihannya, lantaran perjuangan kedua orang tuanya untuk membiayai sekolah tidak mudah. Itulah yang menjadi referensi dan panutan Wahyudi dalam bersikap, hingga sekarang. Bersambung ke bagian II(Thovan)

Sumber: Artikel tahun 2018 kagama.co

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

1 Komentar

  1. Pingback: Seni “Meracik” Desa Ala Sarjana Farmasi (Bagian I) – PEMERINTAH DESA PANGGUNGHARJO

  2. Pingback: Seni “Meracik” Desa Ala Sarjana Farmasi (Bagian II) - Panggungharjo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X