Pendidikan

Dari Desa Menghapus Dosa Pendidikan

pada

Panggungharjo (Gatra.com) – Konsep pendidikan yang salah kaprah selama ini terus dilanggengkan dan diajarkan pada anak-anak kita hingga menjadi dosa pendidikan. Tugas pemerintah tak terkecuali di tingkat desa untuk mengurangi bahkan menghapus dosa itu. Hal itu yang mengemuka dalam diskusi pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Pendek dan Menengah Desa (RPJMDes) Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, di bidang pendidikan, di balai desa tersebut, Senin (7/1).

Budayawan dan praktisi pendidikan, Toto Rahardjo, mengatakan bahwa banyak hal yang sebenarnya patut dipertanyakan di dunia pendidikan kita saat ini. Misalnya substansi pendidikan dan belajar yang sering dirancukan dengan aktivitas di sekolah.

“Pihak sekolah mendominasi wacana tentang pendidikan dan pengertian tentang belajar. Orang yang tidak sekolah dianggap tidak belajar,” ujar pendiri sekolah alternatif Sanggar Anak Alam di Yogyakarta ini.

Kondisi itu mewujud dalam praktik sehari-hari di sekitar kita. Contohnya, kata Toto, pengumuman tentang adanya jam belajar di berbagai ruang publik di Yogyakarta. Pengumuman jam belajar selama 18.00 – 21.00 itu biasanya dipasang di kampung-kampung dengan harapan orang tua menyuruh anaknya berada di rumah pada jam tersebut. Menurut Toto, pengumuman seperti ini tidak jelas maksudnya. Selain membatasi waktu belajar, pengertiannya juga melenceng dari makna belajar, karena yang terjadi selama ini siswa tidak belajar namun menghafal pelajaran.

“Hal-hal ini mengerdilkan makna belajar,” kata dia.

Contoh lain, anak-anak pendidikan anak usia dini atau PAUD saat ini diminta sudah mampu baca, tulis, dan hitung atau calistung. Padahal usia mereka usia bermain. Mereka juga diharuskan masuk sekolah tepat waktu. Orang dewasa melihat hal itu agar anak displin. Bisa saja mereka terlambat datang ke sekolah karena sewaktu perjalanan anak-anak itu melihat tanaman yang menarik bagi mereka seperti putri malu dan belajar tentang keragaman hayati.

“Aturan-aturan ala akademi militer itu tidak memerdekan anak-anak usia PAUD. Ini menjadi dosa pendidikan orang dewasa pada anak,” tuturnya.

Atas nama pendidikan pula, Toto memaparkan, orang dewasa kerap membunuh imajinasi anak-anak dengan memberlakukan banyak larangan di rumah dan sekolah. Tak heran, saat sekolah pulang lebih awal, para siswa bersorak gembira. Anak senang ke sekolah karena bertemu dengan teman-temannya, bukan karena proses belajar di sana.

“Ini semua menjadi masalah kita. Anak-anak punya kenangan buruk pada sekolah,” ujar dia.

Diskusi ini diikuti seratusan orang aparat, praktisi, dan pegiat pendidikan di Desa Panggungharjo dan Kabupaten Bantul.

Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi menyatakan bahwa penyusunan RPJMDes dengan gelaran diskusi ini digelar sebanyak 10 sesi sepanjang bulan Januari 2019 dan untuk membahas berbagai isu. Selain pendidikan, sepuluh isu yang perlu dibahas dan direncanakan tersebut adalah keamanan, ekonomi, kesehatan, perempuan dan anak, kedaulatan pangan, agama dan budaya, tata ruang, dan reformasi birokrasi.

“Dalam perspektif UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, penyelenggaraan pendidikan, khususnya PAUD dan pendidikan nonformal menjadi lingkup kewenangan desa. Lokakarya ini untuk merumuskan ide dan gagasan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Panggungharjo sebagai program dan kegiatan dalam enam tahun ke depan,” ujarnya.

Selama ini, Desa Panggungharjo telah mengembangkan kampung dolanan dan produksi mainan tradisional sebagai sarana belajar anak. Yang terbaru, desa terbaik nasional pada 2014 ini juga mendukung dan memfasilitasi Sekolah Akar Rumput, sekolah alternatif yang membebaskan anak belajar sesuai minat dan lingkungan sekitarnya. Upaya-upaya ini menjadi langkah Pemerintah Desa Panggungharjo untuk tidak melestarikan dosa pendidikan kita selama ini. Toto Rahardjo pun mengapresiasi pelestarian dolanan di desa ini sebagai langkah revolusioner.

“Pemahaman banyak orang dewasa itu, dolanan itu negatif. Dolanan dianggap tidak belajar,” kata dia.

Tidak heran, dengan konsep dan praktik pendidikan yang salah semacam itu banyak orang dewasa punya masa kecil yang kurang bahagia.

“Makanya waktu dewasa mereka jadi nakal, antara lain melakukan korupsi,” pungkas Toto. (Arief Koes)

Sumber : Artikel tahun 2018 gatra.com

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X