Kongres Kebudayaan Desa

Ada Secercah Harapan Mengurai Benang Kusut Pendidikan Kita

pada

Panggungharjo (Media Panggungharjo) – Webinar seri ke-3 Kongres Kebudayaan Desa yang digelar pada hari Kamis (2/7/2020) secara langsung mengungkap berbagai permasalahan mendasar yang dihadapi sistem pendidikan tanah air. Dari mulai pendidikan yang terlalu sentralistik, pendidikan yang keluar dari konteks kehidupan peserta didik, hingga pendidikan yang membelenggu peserta didik dalam mengembangkan nalar kritis, kreativitas dan kebebasan dalam berpikir. Nahasnya, sistem pendidikan tanah air juga dalam beberapa kasus gagal membentuk karakter seseorang.

“Pendidikan sudah seperti benang kusut, jangan diurai, dibakar saja. Susah mau memulainya juga dari mana,” tandas Toto Raharjo, pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM).

Toto Raharjo adalah salah satu narasumber webinar bertajuk Pendidikan yang Membebaskan : Membalik Paradigma Pendidikan Urban. Selain Toto, webinar yang disiarkan langsung lewat Zoom Meeting dan YouTube Live ini menghadirkan pula narasumber lainnya, meliputi Dr. Samto (Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemendikbud), Fadilla M. Apristawijaya, M.A (Sokola Institute), Ahmad Bahruddin (Anggota BAN PAUD & PNF) serta Nurhady Sirimorok (Sekolah Rakyat Petani Payo-payo Maros).

Menurut Toto, pendidikan kita saat ini masih belum merdeka. Bahkan pendidikan menjadi arena yang tidak netral. Ada pertarungan politis di dalamnya yang salah satunya mengakibatkan semua sekolah baik itu formal maupun non formal kemudian dibirokrasikan. Ini menurut Toto melahirkan kesan bahwa pendidikan dan ilmu itu hanya diperoleh dari institusi pendidikan formal. Padahal, tambah Toto, sekolah dan pendidikan di dalamnya tidak boleh keluar dari konteks lingkungan di sekitarnya.

Sehingga peserta didik mampu mengenali, menelaah serta mencari solusi atas berbagai masalah di sekitarnya. Salah satunya diperoleh dari sekolah non formal yang langsung belajar dari alam, dari lingkungan dan dari pengalaman para peserta didiknya.

“Jangan sampai ada kesan bahwa orang yang tidak sekolah itu tidak belajar, ini kan keterlaluan. Sudah terlalu jauh institusi pendidikan itu didominasi institusi sekolah,” katanya.

Maka dari itu, Toto menyarankan agar sekolah non formal tetaplah berkembang dengan lokalitasnya dan konteksnya. Jangan biarkan sekolah-sekolah non formal ini dipaksakan untuk diseragamkan dengan sekolah formal. Termasuk di antaranya soal kurikulum. Pengelolaannya pun sebaiknya diberikan kepada komunitas, desa maupun masyarakat. Lantaran pendidikan non formal adalah arena di mana masyarakat bisa memformulasikan ide-idenya untuk mencari jalan keluar atas berbagai macam permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Hal lainnya yang tak kalah pentingnya adalah era globalisasi sekarang telah memaksa para pelaku pendidikan baik itu peserta didik maupun pendidik untuk menjadi konsumen pengetahuan. Bukan sebagai produsen pengetahuan.

Menurut Toto, hal ini berseberangan dengan tujuan pendidikan yang membebaskan. Lantaran pendidikan yang membebaskan itu seharusnya bukan melahirkan manusia followers, tetapi manusia yang memiliki jati diri, yang memahami potensinya dan memahami kelemahan dirinya.

“Dirinya itu, bisa dalam artian masyarakat dan lingkungan,” tambahnya.

Jika pengembangan pendidikan non formal berangkat dari konteks yang relevan, maka bukan tidak mungkin ia akan menjadi produsen pengetahuan. Semisal seorang petani yang selama ini mungkin tidak dianggap sebagai guru. Padahal dia sangat ahli dalam hal mengenali hama padi dan lain-lain. Jadi pengetahuan itu bisa diperoleh dari orang-orang yang ada di sekitar mereka, tidak harus dari para ahli yang berasal dari luar.

Senada, Dr. Samto (Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemendikbud) menekankan pada pentingnya kebebasan dalam belajar.

Selama ini, ada sistem yang membelenggu para peserta didik sehingga tidak bisa bebas berpikir dan mengembangkan ide-idenya. Para peserta didik tidak memiliki kemerdekaan berpikir karena sejak awal mereka telah terbelunggu oleh formalitas-formalitas aturan. Semisal masalah pakaian pun diseragamkan sehingga tidak ada ruang untuk kreativitas.

Sejatinya, para peserta didik bisa diberikan kebebasan belajar. Semisal seperti yang terjadi di masa Pandemi COVID-19 ini. Mereka bebas belajar bisa di mana saja, kapan saja hingga bebas dalam hal soal berpakaian.

Samto meyakini bahwa pendidikan itu harus menumbukan daya kritis dan melahirkan kreativitas. Dan hal itu hanya bisa lahir dari pemikiran dan pendidikan yang merdeka.

“Sekarang Mas Menteri (Mendikbud Nadiem Makarim-red) mengembangkan merdeka belajar. Karena masih ada pemikiran yang belum merdeka, maka masih ada yang bertanya soal juknis. Lha bagaimana mau merdeka kalau masih ada juknis?” selorohnya.

Samto mengakui bahwa memang bukan perkara mudah dalam membenahi sistem pendidikan tanah air. Namun bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan. Yang penting, tambah Samto, pembenahan itu tidak hanya terjadi pada subyek peserta didik saja melainkan berlaku pula bagi para pendidik.

“Jadi harus sama-sama memiliki kebebasan berpikir,” ucapnya.

Salah satunya seperti yang dijelaskan oleh narasumber Ahmad Bahruddin, yang merupakan anggota Badan Akreditasi Nasional PAUD dan Pendidikan Non Formal.

Pihaknya saat ini tengah menyusun parameter akreditasi yang telah disempurnakan sehingga berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Semisal mutu satuan pendidikan bukan tergantung pada sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah atau PAUD tertentu. Akan tetapi tergantung pada bagaimana masing-masing sekolah bisa memanfaatkan secara maksimal sarana dan prasarana yang relevan dan tepat dengan subyek pembelajaran.

Bisa saja suatu PAUD memanfaatkan pematang sawah yang ada di lingkungannya sebagai sarana belajar. Dan ini bisa mendapatkan nilai tinggi dan dimasukkan dalam satuan pendidikan yang bermutu tinggi.

“Mutu satuan bukan mereka yang kaya, tapi yang cerdas, yang bisa memanfaatkan resources yang ada,” katanya.

Ini menurut Bahruddin menjadi salah satu faktor dalam menumbuhkan nalar kreatif, kritis dan pembelajaran yang membebaskan.

Sementara sekarang ini pendidikan masih diatur dari A sampai Z, bahkan warna kaus kaki pun diatur. Ini menutup ruang berinovasi dan berkreasi. Padahal ini menjadi dasar dalam menumbuhkan nalar kritis dan kreativitas.

“Jadi mudah-mudahan konsep pendidikan yang membebaskan itu ke depan punya peluang yang lebih bagus lagi,” katanya.

Tentang Muhammad Zidny Kafa

Selama ini aku tidak mengalah, tapi terkalahkan oleh kepentingan "Sesaat". Civil Disobedience

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X