Buku

Tradisi Tedak Siten

Oleh

pada

Dalam buku “Mosaik Kisah Ibu Kepala Rumah Tangga” penulis menambah dua tulisan tertkait tradisi dan budaya, yang kita beri  ruang khusus dalam bab IV Tradisi dan Budaya. Ini merupakan bonus artikel khusus, yang ditulis oleh penulis dalam kesehariaannya berkelindan dengan kehisupan sosial dna budaya.

Setiap perkembangan bayi yang lahir sudah tentu merupakan kebahagiaan setiap orang tua, termasuk pada saat bayi sudah bisa turun ke lantai atau tanah untuk belajar berjalan. Berbagai tradisipun dilakukan untuk mensyukuri nikmat Allah, Tuhan semesta alam. Wujud syukur ini adalah berupa tradisi ritual dengan sebutan tedak siten, bukan saja sebagai tradisi namun juga sebagai upaya orang tua memperkenalkan kepada anak  tentang alam sekitar dan ibu pertiwi.

Marilah kita mengenal lebih dekat bagaimana ritual tradisi tedak siten tersebut.  Untuk  mengetahui lebih jauh tentang asal muasal ritual adat ini, perlu kiranya kita mengetahui apa maknanya, filosofi, simbol apa yang terkandung didalam ritual ini. Tedak siten adalah budaya warisan leluhur masyarakat Jawa bagi bayi yang berusia  sekitar  tujuh atau delapan bulan setelah lahir ke alam dunia.  Tedak Siten juga  dikenal sebagai upacara turun tanah/turun lantai. Berasal dari   dua suku kata “tedak” yang berarti turun dari “siten”  berasal dari kata “siti”  yang berarti tanah. Kemudian budaya ini oleh masyarakat Jawa Tengah khususnya Yogyakarta dikenal juga sebagai upacara  turun tanah.

Bagi para leluhur, adat budaya  ini dilaksanakan   sebagai penghormatan  kepada bumi dimana tempat  si kecil mulai belajar menginjakkan kakinya pertama kali di tanah. Dalam istilah Jawa  disebut dengan tedak siten, seraya memanjatkan doa-doa dari orang tua,  para sesepuh  dan keluarga, sebagai pengharapan  agar si kecil tersebut kelak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, kepada negara,  dan agama, sukses, bahagia, menjalani hidup penuh dengan kemandirian. Tradisi yang saat ini dijalankan ketika anak berusia ketujuh bulan dari hari kelahirannya dalam hitungan pasaran Jawa, bahwa hitungan satu bulan dalam pasarasan  adalah 35 hari. Berarti bulan ketujuh pada kalender Jawa  untuk bayi setara dengan delapan bulan pada kalender Masehi.

Pada upacara tradisi ini, terdapat beberapa makanan khas tradisional selain jadah, serta merta disiapkan untuk acara tedak siten ini, makanan tersebut berupa tumpeng yaitu  nasi yang dibuat seperti kerucut yang dilengkapi lauk-pauk beserta kelengkapannya, dan tak lupa ingkung ayam Jawa utuh. Tumpeng ini sebagai simbol permohonan orang tua  gar si kecil kelak dikemudian hari menjadi seorang anak yang sholih sholihah  berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Tumpeng lancip seperti kerucut menyimbolkan agar si kecil menjadi anak yang cerdas cendekia, sayur kacang panjang, menyimbolkan panjang usia, sayur kangkung mempunyai simbol kesejahteraan, kecambah sebagai simbol kesuburan, sedangkan  ingkung ayam  adalah simbol kemandirian. Ada beberapa tahapan dari ritual tdak siten  meliputi:

Tahap pertama, pada tahap ini si kecil akan dituntun oleh ibunya menapakkan kaki diatas jadah tujuh warna yang sudah disiapkan. Adapaun serangkaian prosesi acara tedak siten biasanya dilaksankan di waktu pagi hari. Di awali dengan  mempersiapkan rangkaian makanan  tradisional untuk selamatan. Makanan tradisional tersebut berupa “jadah” atau “tetel” yaitu makanan yang berasal dari beras ketan yang sudah dimasak dicampur dengan parutan kelapa kemudian diuleni (Jawa), bercampur menjadi satu yang bisa diiris dan dibentuk berupa bulatan-bulatan yang  dihias dengan daun pisang dan diberi  pewarna makanan dengan tujuh warna, yakni hitam, merah, putih, kuning, biru, jingga dan ungu. Disini terdapat pendidikan keimanan dengan nilai Ilahiah digambarkan  dalam prosesi  berjalan di atas bubur tujuh rupa/warna.

“Jadah” atau bubur  tujuh warna ini merupakan simbol bagi kehidupan si kecil, sedangkan warna-warni yang menghiasi tadi dapat menggambarkan  lika-liku perjalanan hidup yang akan dilalui si kecil dikemudian hari yang penuh warna. Sedangkan  jadah disusun  dari warna  hitam sampai warna putih ini sebagai simbol bahwa  diharapkan ketika si kecil  jika menghadapi berbagai masalah dan rintangan walau berat sekalipun nantinya  akan ada jalan keluar dan mudah untuk meyelesaikannya, semoga selalu mendapatkan pertolongan dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tahap kedua, si kecil akan dituntun  oleh kedua orang tuanya menaiki tangga, tangga tradisional yang terbuat dari bahan tanaman  tebu pilihan, dari jenis tebu “arjuna” dengan  dihiasi kertas warna-warni, dan rangkaian bunga. Ritual ini melambangkan sebuah harapan agar si kecil  mempumyai  sifat yang ksatria/“iffah” (Arab) yang bertanggungjawab dan tangguh. Tebu dalam bahasa Jawa merupakan kependekan  dari “antebing kalbu” yang bermakna kemantapan hati merupakan bentuk harapan agar si kecil memiliki  ketetapan hati dalam menjalani setiap tahap kehidupan kelak.

Tahap ketiga, si kecil dituntun untuk berjalan diatas tanah atau tumpukan pasir dimana si kecil akan mengais/ceker-ceker (Jawa) tanah dengan kedua kakinya. Hal ini merupakan simbol dari harapan  agar si kecil saat dewasa nanti mampu mengais rizqi untuk memenuhi kebutuhannya dengan riang gembira.

Tahap keempat, prosesi selanjutnya adalah si kecil dimasukkan kedalam kurungan ayam yang sudah dihias dengan bermacam ragam hiasan yang ini mempuyai simbol bahwa kelak si kecil akan dihadapkan berbagai macam pekerjaan. Nah di dalam kurungan ayam tadi telah disediakan berbagai macam barang seperti: uang, alat musik, alat tulis, kapas, bola, cermin, kemudian si kecil dihadapkan ke barang-barang tersebut untuk memilih sesuai dengan instingnya. Barang yang dipilihnya merupakan gambaran potensi si kecil di masa depan kelak, diharapkan dengan potensi yang dimiliki akan membantu orang tua  untuk mengembangkan potensi  itu dengan baik dan tepat.

Tahap kelima, selanjutnya ibunya menebarkan  beras kuning yaitu beras yang sudah dicampur  dengan parutan kunyit dan telah dikolaborasi dengan uang receh atau logam untuk disebarkan dan diperebutkan untuk anak-anak yang datang dalam undangan. Simbol ritual ini, kelak si kecil diharapkan memiliki rizqi yang melimpah ruah dan menjadi  anak yang bersifat  dermawan.

Tahap keenam, pada ritual ini ibu memandikan si kecil  ke dalam air bunga setaman sebagai simbol harapan agar si kecil nantinya akan membawa nama harum bagi keluarga dan lingkungannya. Tahap ketujuh, si kecil kemudian dipakaikan baju baru yang bagus dan bersih, baju yang disediakan tujuh baju tadi, akhirnya baju yang ke tujuhlah yang akan dipakaikan si kecil. Pada ritual ini mengandung simbol agar si kecil diharapkan selalu sehat wal afiat, makmur hidupnya dan membawa maslahat dan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya.  Sebagaimana hadist Nabi yang artinya “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia,” (HR Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). Kerena sesungguhnya ketika berbuat baik kepada orang lain, manfaatnya akan kembali kepada kita. 

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk memperluas  khasanah pengetahuan tentang nilai-nilai luhur budaya leluhur kepada generasi penerus yang akan datang.

Sumber:

Elly Agustin-AG Irawan dkk, 2021, “Keragaman Negeri Tiada Bertepi”, halaman 192, Bogor, Azkiya Publishing.

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X