Event

Panggung Krapyak dan Filosofi Janggal

Oleh

pada

Panggung Krapyak sebagai salah satu sumbu filosofi Yogyakarta. Apakah benar bahwa Panggung Krapyak sebagai sumbu filosofi Yogyakarta yang sudah ditetapkan oleh UNESCO ini, sebagai warisan budaya dunia ini, ternyata merupakan filosofi janggal?

Dahulu ada cerita Kiai Syaroni mau menebang pohon Randu Alas, tetapi tidak bisa ditebang konon katanya ada penunggunya makhluk tidak kasat mata. Kemudian semua penunggunya dipindahkan ke Panggung Krapyak sampai berulang kali hingga tidak ada yang tersisa lagi, dan akhirnya Pohon Randu Alas tersebut dapat ditebang. Kemudian true story dialami sendiri oleh KMT Projosuwasono ketika mengendarai mobil milik Kapanewon Piyungan, pulang dari Piyungan tengah malam ketika melewati Panggung Krapyak kok mobilnya berputar-putar terus tak sampai-sampai. Akhirnya ia berhenti sejenak sambil membaca istighfar hingga akhirnya jalan utara dari Panggung Krapyak kelihatan. Den Baguse menambahkan sebuah cerita ada orang kesurupan kemudian diarahkan ke Panggung Krapyak, orang kesurupan tersebut tidak mau dipindah ke Panggung Krapyak alasannya tempatnya sudah penuh.

Panggung Krapyak syarat dengan nilai-nilai yang sudah diakui oleh dunia, maka apakah kita akan mampu menjaga kepercayaan dunia kepada kita. Termasuk respect masyarakat sekitar Panggung Krapyak, yang mampu memuliakan, yang mampu menghargai dengan budaya kita. Demikian menurut Dian Lakshmi Pratiwi, SS.M.A. selaku Kepala Dinas Kebudayaan DIY.  Ke depan keberadaan Panggung Krapyak ketika menjadi salah satu start up awal dari Sumbu Filosofi, maka ketika kita berfikir bagaimana Panggung Krapyak masih mampu berdiri dengan segala fisiknya termasuk masyarakatnya yang mampu respect, mampu memuliakan, mampu menghargai dari yang dimiliki (memaksa orang untuk respect). Urusan Panggung Krapyak tidak sekedar semata-mata bangunan fisik Panggung Krapyak saja, tetapi menata hati kita, menata sesuatu spiritual kita jauh lebih penting.

Cerita atau tulisan sejarah bukanlah sebuah kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah kecuali ada fakta objektif dan data valid atau tertulis di dalam kitab suci.  Sebuah filosofi sejarah sangat mungkin untuk mult tafsir/ dibelokkan bahkan bisa dihilangkan tergantung kepada siapa penulisnya atau siapa yang berkuasa dengan motivasi tertentu. Filosofi adalah hasil pemikiran untuk mencari kebenaran yang bersifat spekulatif atau perekaan demikian Kata Plato seorang Filsuf dari Yunani Kuno. Dari beberapa sumber yang ada dan sudah beredar umum Panggung Krapyak adalah bagian dari Sumbu Filosofi yang terbentang dalam Garis Imajiner antara Laut Selatan – Panggung Krapyak – Kraton – Tugu dan Gunung Merapi yang saat ini sudah diakui UNESCO sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia. Panggung Krapyak Filosofinya adalah awal sangkan paraning dumadi yang digambarkan sebagai Yoni/ rahim alat kelamin perempuan sedang Tugu adalah Lingga/alat kelamin lelaki. Panggung Krapyak dimaknai Yoni/rahim karena ada pohon Asem di sekitarnya dan adanya Kampung Mijen yang bermakna wiji benih dan seterusnya.

Kiai Henry Sutopo berpendapat bahwa filosofi makna perekaan Panggung Krapyak dan Tugu sebagai Lingga Yoni adalah filosofi janggal dan tidak kuat dengan alasan: Pertama, Panggung Krapyak dibangun pada Abad 18 oleh Hamengku Buwono I yang bergelar Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Abdurrohman Sayyidin Panatagama Kholifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Setunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat (1755 – 1792 M). Kedua, konsep dasar Sultan HB I dalam membangun Kraton adalah Hamemayu Hayuning Bawono (membuat lingkungan alam yang asri indah). Ketiga, HB 1 mempunyai guru ngaji bernama Kyai Muhammad Fakih/Kyai Welit/Kyai Seda Laut yang Tinggal di Wonokromo Pleret Bantul sebelah Selatan Kraton (sekarang Masjid Pathok Negara Wonokromo). Keempat, dalam beberapa literatur termasuk Serat Cebolek RM Sujana/HB 1 disamping arsitek handal/ cakap dalam olah kanuragan juga ahli ibadah shalat lima waktu/puasa Senin Kamis dan membaca Al-qur’an. Kelima, sejak HB 1 bertahta di Kraton sudah ada pusaka yang dikeramatkan yaitu Kyai Tunggul Wulung berwujud bendera kain dari Kiswah Ka’bah berisi tulisan syahadat /asmaul husna/Surat Al-Kautsar ditambah pusaka bendera lain berwarna Hijau yang bertulisan Arab.

Dari 5 (lima) poin di atas dapat disimpulkan bahwa HB 1 adalah raja yang sangat agamis yang jauh dari standar paugeran norma membuat Panggung Krapyak dan Tugu sebagai simbol alat kelamin. Demikian pula menurut Kiai Henry Sutopo menganggap janggal jika filosofi kehidupan Kraton Jogja berawal dari arah Selatan ke Utara dibuktikan dengan adanya Plengkung Gading/Nirbaya sebagai satu-satunya tempat keluar jenazah Raja yang mangkat sejak Kerajaan Mataram untuk menuju Astana Kasuwargan Pajimatan Imogiri Makam HB 1 di arah Selatan Kraton.

Kiai Henry Sutopo berpendapat bahwa HB 1 membangun Panggung Krapyak adalah diilhami dari bangunan Ka’bah sedang Tugu adalah Alif Mutakallim Wahdah yakni Tuhan yang Maha Esa sebagai sumber awal kehidupan sangkan paraning dumadi. Sehingga arah sumbu filosofi kehidupan adalah dari Utara ke Selatan bukan sebaliknya. Panggung Krapyak ilham dari bangunan Ka’bah di samping berfungsi sebagai benteng/tempat istirahat raja berburu Menjangan/tempat meditasi raja menghadap Gunung Merapi juga sebagai simbol tujuan serta tugas hidup manusia (Wamaa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduuni). Panggung Krapyak berbentuk mirip Ka’bah dengan 4 (empat) pintu yang saling berhubungan adalah lambang manunggaling kawulo lan Gusti tanpa sekat bersifat kosmopolit universal. Realita yang ada saat ini di sekitar Panggung Krapyak adalah Komplek Pondok Pesantren yang siang malam para santri lewat bahkan tinggal berdiam di sekitar Panggung Krapyak. Pembelokan makna sejarah dari aslinya adalah hal yang lumrah apalagi dilakukan dengan sengaja oleh orang yang tidak takut dengan Kuwalat. Diakhir tulisannya Kiai Henry Sutopo berpendapat bahwa Revitalisasi Panggung Krapyak dengan segala permasalahannya diharapkan membawa dampak positif di segala bidang dan tetap menghargai kearifan lokal salah satu contohnya ada aturan bagi wisatawan baik asing maupun domestik untuk berpakaian sopan seperti yang diberlakukan di makam raja-raja Imogiri Bantul.

Tulisan Kiai Henry Sutopo tersebut disampaikan secara langsung pada hari Ahad, 29 Oktober 2023 pada acara Jagongan Selapanan yang mengambil tema besar Tata Nilai Poros Kebudayaaan Desa. Panggung Krapyak Dulu, Kini dan Nanti. Bertempat di halaman eks-RS Patmasuri Krapyak Kulon Panggungharjo Sewon Bantul.  Pendapat Kiai Henry Sutopo tersebut membuka mata kepada kita semua bahwa ada bantahan bahwa sumbu filosofi yang selama ini sudah tersosialisasikan kepada masyarakat Yogyakarta ternyata terdapat kejanggalan terhadap sumbu filosofi atau filosofi janggal. Pertama, terlalu sempit jika memandang sejarah Panggung Krapyak sebagai simbol alat kelamin perempuan, karena dibalik sejarah pembuatan Panggung Krapyak sebagai simbol Ka’bah. Kedua, terkait arah sumbu filosofi berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat, yaitu dari arah Utara ke Selatan (JND).

Referensi:

  1. KMT Projosuwasono, salah satu tokoh masyarakat Krapyak Kulon, abdi dalem dan sekaligus Budayawan Daerah Istimewa Yogyakarta.
  2. Dian Lakshmi Pratiwi, SS.M.A., Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
  3. KH. Drs. Henry Sutopo, salah satu tokoh masyarakat Krapyak Kulon dan sekaligus pendidik di Pondok Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.

Tentang Junaedi

Penulis esai. Penulis Buku Cuitan Wong Ndeso. Bekerja sebagai staf PSID, yang membawahi PCL.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X