Kebencanaan

Simulasi Bencana Di Garon Panggungharjo : Dari, Oleh Dan Untuk Masyarakat

pada

(seri 1 dari 7 artikel tentang Desa Tangguh oleh Forum Pengurangan Risiko Bencana Panggungharjo)

Sudah sejak cukup lama, momen simulasi bencana terakhir dilakukan di Desa Panggungharjo. Fakta bahwa pada saat gempa 2006, Desa Panggungharjo menjadi korban terdampak gempa yang sangat parah, tidak pula membuat simulasi bencana menjadi agenda rutin tahunan. Jalur evakuasipun tidak menjadi “hiasan edukatif” di sudut-sudut desa. Bahkan peta analisis risiko bencana pun awalnya tidak banyak ditemukan.

Sporadis memang masih ditemukan hasil dari fasilitasi dan pendampingan LSM maupun pemerintah. Sayangnya peta analisis risiko (yang partisipatif) tersebut belum menjadi salah satu point penting dalam aras dasar perencanaan pembangunan dan layanan desa. Akan tetapi situasi ini “kewetu” secara jujur dalam refleksi tentang sejauh mana penanggulangan bencana dilakukan di Desa Panggungharjo beberapa waktu terakhir.

Point penting yang perlu digaris-bawahi, justru inisiatif refleksi ini muncul dari Pemerintah Desa Panggungharjo, yang akhirnya menjadi “kekayaan outokritik” berharga.

Refleksi di atas memunculkan beberapa langkah strategis dan taktis pasca terbentuknya Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa (selanjutnya disebut FPRB). Adapun FPRB, menjadi sebuah lembaga desa yang fokus pada penyelenggaraan berbagai aktivitas penanggulangan bencana di desa.

FPRB di tingkatan desa jelas berkekuatan hukum secara legal formal karena pembentukannya adalah amanat UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Yang menarik dan penting menjadi filsafat dasar dari kebencanaan untuk selalu dipahamkan kepada semua pihak adalah banyaknya penggunaan kalimat “pengurangan risiko” bila kita membuka dokumen Undang-Undang tersebut. Sejarahnya cukup panjang, sejak konferensi kebencanaan di Yokohama Jepang tahun 1994 hingga paling mendasar yaitu tahun 2005 di Kobe Jepang dan menghasilkan Hyogo Framework yang menjadi rujukan penting dari pembuatan UU no 24 tahun 2007.

Terbaru adalah konferensi kebencanaan dunia di Sendai Jepang tahun 2015. Sejarah tersebut akan kita bahas di dalam artikel seri selanjutnya. Tetapi intinya adalah dalam sebuah peristiwa kebencanaan, bencana itu tidak mungkin kita tolak.

Bencana, terutama bencana alam semisal gempa bumi, badai, tsunami dan gunung meletus, adalah sesuatu yang “pasti terjadi”, itu semua kehendak Tuhan (Alam). Maka yang paling memungkinkan dilakukan oleh manusia dengan karunia akal budinya adalah mempersiapkan diri. Artinya manusia hanya bisa mengurangi risiko dari dampak bencana itu.

Ada berbagai macam usaha bisa dilakukan dalam mengurangi risiko bencana. Seperti halnya dalam fase kehidupan manusia, hal mendasar yang dilakukan manusia agar tetap bisa survive dalam kehidupan adalah dengan belajar (sekolah). Seperti halnya pula dalam membangun sebuah rumah yang baik, perlu adanya analisis, penilaian kemampuan, gambar design dan perencanaan.

Bagi pengurangan risiko bencana yang paling mendasar adalah penilaian risiko bencana di desa (juga penilaian risiko wilayah hamparan atau pedukuhan atau RT). Penilaian risiko tersebut dilakukan paling awal untuk membuat yang tahap kedua yaitu penyusunan peta risiko bencana.

Setelah dinilai risiko bencana dan diwujudkan dalam peta, maka perlu dilakukan analisa dan penilaian kapasitas yang dimiliki atau harus diusahakan untuk mengurangi risiko itu. Ini menjadi yang paling mendasar untuk membuat tahap selanjutnya yaitu perencanaan pengurangan risiko bencana dan perencanaan aksi tanggap bencana.

Bedanya, perencanaan pengurangan risiko bencana untuk pra atau sebelum terjadi bencana, sedangkan perencanaan aksi tanggap bencana adalah SOP (standart operational procedur) saat terjadi bencana sampai dengan perencanaan management posko pasca bencana.

Masing-masing dari dokumen di atas akan dibahas pada artikel-artikel selanjutnya. Sementara “kemeceren” menunggu artikel selanjutnya, pada titik ini kita bisa menggaris-bawahi mengapa pilihan amanat UU no no 24 tahun 2007 (dan turunannya PP no. 21 tahun 2008) adalah pembentukan sebuah forum, bukan yang lain.

Forum itu punya kelebihan menjadi sebuah lembaga yang terdiri dari multi pihak pemangku kepentingan dan perwakilan masyarakat yang prinsipnya secara setara, bersama-sama saling berkerjasama untuk menyelenggarakan kegiatan penanggulangan kebencanaan.

FPRB desa berisi pemerintah desa, perwakilan berbagai lembaga di desa, perwakilan masyarakat, kelompok-kelompok relawan dan juga aktivis FPRB sendiri secara spesifik. Tugas FPRB tidak hanya seputar saat terjadi bencana, tetapi bahkan 90% tugasnya pada saat sebelum terjadi bencana.

Dokumen analisis risiko bencana, secara ideal, musti di-advokasi oleh FPRB Desa untuk menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan prioritas perencanaan pembangunan dan pelayanan desa.

Misalnya desa yang sudah mengarusutamakan pengurangan risiko bencana akan melihat daerah mana yang paling berisiko bencana dan banyak kelompok rentannya (difabel, manula, anak-anak) untuk diprioritaskan pelebaran dan penghalusan jalan misalnya.

Pada titik ini, FPRB fungsi utamanya jelas di sini yaitu pada fasilitasi, pengawasan, peningkatan kapasitas (pelatihan dan kampanye), pembentukan sistem, advokasi dan jejaring komunikasi, selain pada tanggung jawab memastikan semua penyelenggaraan UU no 24 tahun 2007 terlaksana.

Tahap yang saat ini sudah dilakukan oleh FPRB Desa Panggungharjo adalah pembuatan dokumen-dokumen tersebut. Tentu saja dengan proses penyusunannya yang partisipatif melibatkan aparat pedukuhan dan aktivis serta tokoh masyarakat di tingkatan pedukuhan.

Tahapnya memang belum sampai kepada penyusunan analisis dan peta risiko serta kapasitas kebencanaan sampai ke tingkatan RT, tetapi baru sampai ke tingkatan desa. Perencanaan (SOP) aksi tanggap bencana tingkatan desa pun sudah tersedia di desa secara partisipatif. Biarpun secara legal formal standar Desa Tangguh sudah, akan tetapi FPRB (dan masyarakat) tidak berpuas diri. Provokasi yang saat ini didengungkan adalah adanya Tim Siaga Bencana di tingkatan dusun dan adanya dokumen serta peta perencanaan penanggulangan bencana di tingkatan RT.

Akhirnya, simulasi bencana adalah tahap uji coba kesiapan masyarakat dan uji kontekstualitas, signifikasi dan ketepatan operasional dari segala analisis dan perencanaan kebencanaan yang sudah disusun.

Simulasi bencana yang dilakukan Sabtu, 21 April 2018 pukul 08.30 WIB di Dusun Garon Desa Panggungharjo tersebut menjadi salah satu puncak dari proses pra-bencana.

Menjadi lebih berharga, peristiwa simulasi bencana ini biarpun bertepatan dengan Hari Kesiapsiagaan Bencana serentak di Kabupaten Bantul, pada proses persiapannya tidak lagi diadakan karena desakan program pemerintah.

Bukan hanya terjadi karena edaran Presiden atau Bupati atau Lurah, tetapi menjadi KEBUTUHAN bagi warga di Pedukuhan Garon secara khusus dan warga Desa Panggungharjo secara umum.

Pemerintah Desa di sini hanya mendukung dan memfasilitasi yang menjadi kebutuhan warganya. Kembali seperti analogi di atas, bagaikan seorang anak yang sekolah dan BUTUH ujian sekolah untuk menguji prosesnya belajar selama ini. Artinya pula, simulasi bencana ini prosesnya adalah dari, oleh dan untuk masyarakat. Karena pada dasarnya apapun yang dilakukan Negara (Pemerintah dan lembaga turunannya) yang diawali dari membuat UU no 24 tahun 2007 adalah melayani KEBUTUHAN warga masyarakat Indonesia untuk membuat dirinya sendiri TANGGUH BENCANA.

Kadangkala, “Negara Hadir” nampaknya tidak hanya dirasakan masyarakat melalui birokrasi, kedinasan atau kementrian dan penganggaran saja, tetapi panduan apa yang musti dilakukan masyarakat agar tangguh dan mandiri melalui Undang-undang itu kadang sudah cukup.

Penting kita wujudkan bersama-sama UU no 24 tahun 2007 sebagai warga Negara Indonesia. Sama halnya Pancasila (yang adalah perundang-undangan tertinggi di Indonesia), bukankah rakyat Indonesia tidak membutuhkan birokrasi, lembaga, kedinasan, kementrian apalagi posting anggaran untuk melakukan panduan Pancasila dalam hidup sehari-hari?. Bahkan rela mati untuk mempertahankan Pancasila?. Dan entah kebetulan atau memang sudah digariskan sejarah, simulasi bencana di Dusun Garon Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta ini lokasi utamanya di sekitar lapangan yang diberi nama warga LAPANGAN BHAKTI PANCASILA !. (SETOWIJAYA)

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X