Seni Budaya

Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian III)

pada

Sambungan Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian II)
Baca juga : Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian I)

Panggungharjo (Jurnalis Warga) – Sabtu (15/9/2018), adalah kerinduan yang sepertinya menyeruak di hati warga Pedukuhan Glondong. Kerinduan akan kebersamaan dalam satu pedukuhan. Pedukuhan Glondong sangat khas dengan pedukuhan yang sub-urban seperti pedukuhan lain di Desa Panggungharjo. Khasnya  yaitu terkotak batas jalan dan industri serta perumahan. Satu hal lagi, pergeseran dari yang semula budaya agraris berubah pemukiman nampaknya menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari sekaligus juga disesalkan.

Kerinduan akan kebersamaan ditambah juga kerinduan akan budaya Merti Dusun yang sudah lama ditinggalkan, terbungkus dalam satu judul dari merti yaitu “Wiwit Srawung” . Artinya Srawung tersebut mesti dimulai lagi. Kebetulan pula Wiwit juga terkorelasi dengan Sego Wiwit (nasi wiwit), sebuah menu masakan khas masyarakat petani.

Direncanakan bahwa Sabtu siang tersebut, akan diselenggarakan kirab keliling pedukuhan dengan urutan barisan yaitu yang pertama bregodo pedukuhan yang merupakan gabungan perwakilan masing-masing RT. Kemudian disusul oleh rombongan warga Pedukuhan Glondong yang notabene masih menjadi petani aktif. Ini sebagai penghormatan tertinggi kepada para petani yang masih bertahan bertani dengan sejengkal lahannya. Terakhir, yaitu barisan para warga dari delapan RT di Pedukuhan Glondong yang akan membawa delapan gunungan hasil bumi dari masing-masing RT.

Setelah kirab, sesampainya di titik finish yaitu di Sumur Miring (ujung selatan Jl. K.H. Ali Maksum -red), warga dipersilakan duduk bersama dan dipersembahkan pertunjukan fragmen singkat sendratari oleh para muda-mudi dengan tema yaitu “Wiwit Srawung”. Setelah pertunjukan usai kemudian dilanjutkan dengan doa bersama dan diakhiri makan bersama.

Uniknya, dalam Merti Dusun Glondong “Wiwit Srawung” tersebut hanya ada satu jenis makanan yaitu Sego Wiwit. Kabarnya, Sego Wiwit tersebut dibuat oleh ibu-ibu dari masing-masing RT yang kemudian dikumpulkan menjadi satu. Sehingga tidak ada yang tau akan mendapatkan makanan yang dibuat oleh RT mana. Pesan dari Merti Dusun di Glondong ini sangat jelas. Bahwa bagian tersulit dari sebuah perdamaian, kerukunan dan persatuan tanpa memandang perbedaan adalah inisiatif. Inisiatif untuk memulai. Dan sepertinya tafsir masyarakat Glondong, kebudayaan Merti Dusun adalah melting point (titik cair) untuk memulai inisiatif tersebut. Malamnya kemudian akan dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon “Semar Mbangun Khayangan” yang dibawakan oleh dalang Ki Sumantri.

Sabtu (22/9/2018), di Pedukuhan Krapyak Kulon, Merti Dusun akan tampil dengan suasana santri yang sangat Islami. Biarpun tidak mungkin meninggalkan nuansa tradisional Jawa. Budaya Jawa yang utuh sampai sekarang, juga atas jasa besar budaya Islam yang berkembang pesat sejak sebelum Kerajaan Demak. Kita semua tahu bahwa di daerah Krapyak Kulon terdapat pondok pesantren tertua di Yogyakarta dengan jutaan alumninya.

Kabar tersiar bahwa masyarakat Pedukuhan Krapyak Kulon akan melakukan kirab menuju titik Merti Dusun sembari membawa tumpeng. Setelah itu, akan digelar acara doa dan kemudian disambung dengan pentas 10  kelompok hadrah. Nampaknya ini merupakan simbol 10 RT yang ada di Pedukuhan Krapyak Kulon. Srawung khas masyarakat religius yang tidak terpisahkan dengan keberadaan pondok pesantren serta penuh ketentraman, kesejukan dan perdamaian.

Momentum adanya Merti Dusun yang diselenggarakan secara berturut-turut ini semoga menjadi awal yang baik untuk perdamaian dan kesejukan suhu negara ini. Kebudayaan adalah salah satu penanda bahwa kita manusia yang masih manusia. Merti Dusun sebagai salah satu wujud kebudayaan lokal yang adiluhung, mestinya menjadi medium paling bebas tendensi untuk mempersatukan masyarakat dengan penuh perdamaian tanpa mempermasalahkan berbagai perbedaan.

Masyarakat dengan kebudayaan akhirnya makin menunjukkan bahwa dirinya masih manusia. Manusia yang hatinya penuh kesederhanaan, yaitu kedamaian, kesejukan, ketentraman, keseimbangan dan generasi penerus yang menghargai semesta kehidupan. Dan tentunya kesederhanaan kerinduan atas kebudayaan ini mestinya langsung kita tujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. (SETOWIJAYA)

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

1 Komentar

  1. Pingback: Merawat Srawung Dalam Merti Dusun (Bagian II) - Panggungharjo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X