Seni Budaya

Mencari Roman Cinta di Merti Dusun Glondong (Bagian I)

Oleh

pada

Glondong (Jurnalis Warga) – Seraut paras dengan garis mata tipis melirik teduh. Bibir merah mudanya tak dipoles tebal, tersungging tipis senyum manis di tengah kulit kuningnya yang bersih langsat. Dia diam, suaranya senyap, tidak cerewet seperti biasanya nyaris tanpa henti mengkritik hal-hal kecil di sekitarnya. Talu-talu alunan gendhing gamelan menambah kembang merekah di hati gadis itu.

Apalagi mulai terlihat pemuda desa itu berjalan setegap-tegapnya, tiada seperti biasa dia berjalan. Honda pitung tua butut itu tidak ada, sepatu convers second-an dari pasar klithikan itu tidak ada, apalagi rokok djarum super eceran dari warung milik tante cina baik hati di sebelah rumah itu tidak ada, dan gaya bicara sok cari perhatian sang gadis ketika perjumpaan terjadi di karang taruna itu juga tidak ada.

Hari ini dia benar-benar gagah tampan seperti Arjuna. Riuh warga sepedukuhan di jalan gang setapak sejauh 20 meter itu membuatnya bagaikan 20 kilometer dijalani mereka berdua hari itu.

Singkat cerita, di tengah siulan nakal anak-anak muda kampung, pemuda mengucap janji suci itu dengan lantang tegas tapi penuh siratan nada ingin cepat dimanja sang gadis. Usai janji suci itu terikat, sayup terdengar penyanyi muda dari dusun di ujung desa menyanyikan lagu berjudul “Untuk Perempuan Yang Sedang Di Pelukan” karya “Payung Teduh”.

Oh indahnya hari itu. Ini cerita tentang gadis muda nan manis jelita dari RT di ujung selatan itu, tepatnya dari belakang warung bercat hijau depan pak RT, dipersunting oleh pemuda dari RT di ujung barat dusun tidak jauh dari pos ronda dekat sawah sejengkal.

Konon roman cerita di atas sangat sering terjadi di Pedukuhan Glondong sekitar 10 atau 20 tahun yang lalu. Konon pula penanda sebuah kohesi sosial yang masih baik adalah pernikahan yang tidak jauh-jauh. Sangat familiar di telinga masyarakat “peknggo” yang merupakan singkatan dari ngepek tonggo, artinya menyunting tetangga.

Konon lagi, “peknggo” adalah penanda muda-mudi yang relasinya masih baik dan kegiatan kepemudaan yang masih berjalan aktif. Biarpun pada sisi lain, di banyak pedesaan di Jawa, peristiwa itu terjadi karena pekerjaan, sekolah dan bahkan kuliah pemuda desa biasanya tidak jauh-jauh. Artinya pula kegiatan dan relasi sosial tidak berada jauh-jauh dari desanya. Keluar desa dan merantau di banyak desa yang ada di Jawa dianggap sebagai penanda sebuah kemajuan.

Akhirnya pemuda-pemudi yang masih bertahan di desa, pada titik tertentu dianggap kurang mampu, tangguh, pintar dan akhirnya dianggap kurang maju serta tidak sukses. Apalagi zaman orde baru, desa dicitrakan sebagai tempat penuh ketertinggalan.

Sekarang ini, apalagi pasca Undang-Undang Desa, zaman sudah berubah. Kemajuan sebuah desa justru sebagai penanda kemajuan sebuah bangsa. Geliat ekonomi kerakyatan yang tidak meninggalkan identitas, budaya dan tradisi sebagai orang desa menjadi penanda pula terjaminnya keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.

Mustinya masyarakat Desa Panggungharjo bangga dengan identitas yang dibangunnya selama ini. Biarpun sudah beranjak sebagai masyarakat sub-urban, identitas desanya tidak hilang sama sekali. Bahkan pemuda dapat membangun desa saat ini sudah menjadi kebanggaan tersendiri. Tak terhitung banyaknya inisiatif muncul dari Desa Panggungharjo yang membuahkan hasil banyak desa lain di seluruh Indonesia yang melakukan studi banding ke Desa Panggungharjo.

Konteks di Pedukuhan Glondong, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul ini, sebelumnya adalah daerah Agraris yang sangat subur. Bahkan konon cerita dari para sesepuh, nama Glondong sendiri diambil dari istilah “bulu bekti glondong pangarem arem” artinya adalah upeti. Jadi, Glondong pada zaman dulu adalah tempat untuk mengumpulkan upeti atau pajak kepada raja berupa hasil bumi.

Glondong sering disebut Prancak (ada 2 kampung tua di pedukuhan ini bernama depan Prancak -red), karena Prancak dalam Bahasa Jawa artinya menghias. Memang upeti atau pajak pada raja zaman dulu memang harus dihias terlebih dahulu sebelum dipersembahkan. Nah, Saat ini Pedukuhan Glondong telah terjadi perubahan besar, terutama dalam 20 tahun terakhir ini. Keberadaan pembangunan pabrik, kampus dan perumahan telah mendorong pula kampung pedesaan menjadi semakin padat. Pedukuhan Glondong pun akhirnya menjadi khas dengan gang-gang sempitnya.

Perubahan di atas berimbas pada ekonomi masyarakat yang semakin meningkat. Akan tetapi imbas dari sisi lainnya yaitu lahan pertanian menjadi semakin menyempit. Petani pun menjadi semakin sedikit. Padahal pada satu sisi, seorang petani yang adalah makhluk ber-Tuhan dan ekologis, yang artinya membutuhkan keseimbangan ekologi untuk menciptakan pertanian yang subur dan di sisi lain selalu mempersembahkan semua syukur pada Tuhan yang maha Esa.

Kedua hal inilah yang menciptakan banyak sekali tradisi budaya dan relasi sosial khas pedesaan yang rukun, tentram, ayem dan damai. Dampak semakin hilangnya petani di pedesaan tidaklah sederhana dan berbuntut panjang bahkan sampai berubahnya relasi sosial. Apalagi diakselerasi dengan terkotak-kotaknya masyarakat secara geografis oleh batas jalan maupun industri maupun batas administratif. Bersambung ke bagian II(Setowijaya)

Tentang setawijaya

Warga Biasa

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X