Artikel Tamu

Membangun Desa, Merawat Budaya (Bagian I)

pada

“Melakukan kerja budaya dan sosial merupakan tugas kesejarahan tiap orang.”

(Wahyudi Anggoro Hadi, Kepala Desa Panggungharjo)

Memperkokoh potensi atau komunitas budaya kontra produktif jika melulu soal anggaran”

(Fairuzul Mumtaz, Ketua Pengelola Desa Budaya “Bumi Panggung”, Desa Panggungharjo)

Panggungharjo; Merawat Lumbung Seni

Memasuki jalur lambat dari perempatan lingkar selatan, yang saat ini kita kenal dengan nama jalan Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, laju motor saya lambatkan. Berbekal peta digital yang dikirimkan seorang teman, saya mencari lokasi “Kampung Mataraman”. Jika berdasarkan peta, harusnya lokasi yang dituju sudah dekat. Tetapi, sepenglihatan saya belum tampak perkampungan. Mencoba memastikan kembali, motor saya tepikan, berhenti, untuk melihat petunjuk lainnya.  Mata saya tertuju pada petunjuk dengan arah panah tertulis “Kampung Mataraman”.

Sedikit ragu, saya mencoba mengikuti petunjuk arah tadi. Masuk sekitar 50 meter, keraguan saya sedikit terjawab. Apalagi setelah bertemu dengan seorang pemuda, menggunakan sorjan menyambut dan langsung mengarahkan ke area parkir.

“Maaf yo, Mas. Ini baru dibangun, rencana akan ada acara di sini, pertemuan kepala desa se Indonesia, jadi pada sibuk beres-beres,” jelasnya ramah.

Memasuki halaman Kampung Mataraman (KM),  tampak dua bangunan limasan menghadap ke utara dan satu menghadap ke barat. Di samping bangunan terlihat beberapa orang-orangan (memedi) sawah menghadap kiblat. Gapura bambu berbentuk setengah lingkaran menambah artistik “kampung” ini. Suasana kampung baru terasa.

Kampung Mataraman; Jalan Panjang Merawat Budaya

“Melakukan kerja budaya dan sosial merupakan tugas kesejarahan tiap orang.”  

Pernyataan ini saya temukan di laman media daring, diungkapkan oleh Wahyudi Anggoro Hadi, selaku Lurah Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Ia menjawab pertanyaan wartawan terkait kerja budaya yang sedang berlangsung di desanya. Tersirat dari pernyataan ini bahwa “membangun” budaya adalah pekerjaan panjang. Budaya tidak seperti legenda Roro Jonggrang yang bisa diciptakan dalam satu malam, dan budaya tidak berhenti pada perayaan.

Kebudayaan tidak semata seni dalam hidup, demikian kata Roucek dan Waren (dalam Sudikin, 2005). Di dalamnya juga termasuk benda-benda yang terdapat  di sekeliling manusia yang dibuat manusia. Dengan kata lain, definisi kebudayaan menjadi luas, yaitu sebagai cara hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan  keturunan, dan mengatur pengalaman sosialnya.

Wujud kerja budaya yang dikerjakan oleh Desa Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2014 ini, salah satunya dengan merintis terbentuknya KM. Mengulik alasan lahirnya, KM diharapkan dapat menjadi media efektif dalam pembelajaran bagi semua orang, nantinya. Membangun KM bukanlah pekerjaan main-main.

Dihadirkan dalam nuansa Kerajaan Mataram pada abad ke-19, konsep KM dibuat tidak sebatas pembangunan fisik atau destinasi wisata. Tetapi, meminjam istilah Umar Priyono, Kepala Dinas Kebudayaan Pemerintah DIY, KM lebih sebagai “inkubator budaya”. Kehadirannya menjadi sarana reflektif bagi masyarakat, misal; dalam hal sistem tata praja, pemanfaatan lahan yang harus mengutamakan kepentingan masyarakat, tanah titisoro yang digunakan menghidupi masyarakat yang hidup tidak sejahtera, tanah pangonan untuk penggembalaan hewan ternak maupun tanah paguron untuk menggaji guru. Nilai-nilai luhur Mataram inilah yang nantinya akan dihadirkan pada landscape kampung dengan luasan kurang lebih 6 ha ini.

Setidaknya, demikianlah informasi yang saya dapatkan setelah memungut dari berbagai sumber. Berbekal konsep yang menarik itu, saya menanti kesempatan untuk datang ke sana. Enam purnama sejak dibuka untuk umum, warung makan di pinggir jalan nasional itu telah viral di media sosial. Makin membuncahlah rasa penasaran saya. Kebetulan, saya membaca poster bahwa di tempat itu bakal Gelar Potensi Kreativitas Budaya Anak, pada 12 November 2017. Saya pun berniat menyertakan Azril terlibat dalam kegiatan tersebut.

Pada Minggu cerah itu, aktivitas di KM tampak ramai, panitia sibuk melayani anak-anak. Sementara orang tua, duduk santai di bawah pohon sambil menikmati menu makanan yang disajikan. Semilir angin menambah sejuk suasana ditambah aroma masakan yang menggugah selera.

“Kalau mau memilih makanan, silakan ke pawon, Mas.” Seorang pelayanan mengarahkan.

Lumrahnya, pawon di tempatkan di bagian belakang. Tetapi di KM, pawon diletakkan di depan sehingga kita akan dihadapkan langsung dengan aktivitas memasak.  Dengan letaknya di depan, pawon memiliki makna penting. Dalam falsafah jawa, pawon bukan hanya sebatas tempat memasak, fungsi pawon memiliki makna yang luas sebagai tempat berinteraksi antar anggota keluarga, bertukar pikiran, serta berbagi. Dari pawon kehidupan keluarga dimulai, seorang ibu meracik makanan terbaik untuk anaknya, ayah menyimpan hasil panen untuk kelangsungan keluarga, pawon dapat diibaratkan sebagai teritori vital sebuah keluarga, ketika wilayah itu terganggu maka stabilitas “negara” akan terganggu. Terlihat KM ingin menghadirkan konsep pawon kepada fungsi aslinya, dari pawon akan menjadi jembatan nyata bagaimana masyarakat mengolah makanan dari hasil pertanian, perkebunan dan peternakan yang dijamin sesuai dengan prinsip ‘Memayu Hayuning Bawana’.  Sampai di sini, tidaklah berlebihan jika pawon merupakan simbol wujud kedaulatan pangan lokal yang sehat dan ramah lingkungan.

Wajah ramah pelayan berbalut pakaian tradisional, bangunan limasan yang berdiri serta pawon yang dapat kita temui di KM, merupakan wujud implementasi tiga pilar kehidupan masyarakat Jawa; sandang, pangan, dan papan. 3 kebutuhan yang harus dipenuhi dan seimbang.

Tidak terasa acara Gelar Potensi Kreativitas Budaya Anak hampir selesai, kami bersiap untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang Azril berceloteh pengalamannya.

“Ayah, besok kita main ke kampung Mataraman lagi, ya. Azril seneng karena tadi dikasih wayang oleh mbah,” terangnya bersemangat.

Pengalaman mendapatkan wayang sangat melekat dan berkesan bagi Azril. Pengalaman singkat tadi dapat menjadi contoh sederhana tentang cita-cita proyek besar KM, bagaimana memperkenalkan budaya secara langsung, khususnya anak-anak. Bersambung ke bagian II(RENDRA AGUSTA)

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

1 Komentar

  1. Pingback: Membangun Desa, Merawat Budaya (Bagian II) - Panggungharjo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X