Potensi

Mbah Atmo Manfaatkan Limbah Kertas Bekas Untuk Mainan Tradisional

pada

Pandes (Tribunjogja.com) – Atmo Wiyono merupakan satu dari segelintir pengrajin mainan tradisional anak di Pedukuhan Pandes, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul yang hingga saat ini masih bertahan.

Di rumahnya, perempuan berusia 81 tahun itu membuat macam-macam mainan tradisional. Mulai dari kitiran, kluntungan, payung-payungan, otok-otok, kurungan, kipas lipat, angkrek hingga wayang. Semua mainan atau dolanan tradisional terbuat dari bahan kertas.

“Kertas bekas yang sudah tak terpakai,” ucap perempuan yang kerap dipanggil Mbah Wiyono sembari tangannya meraih satu mainan lalu menunjukkannya.

Kertas bekas itu telah didaur ulang dengan cara dicat sederhana supaya terlihat lebih menarik. Ada warna kuning, hijau, merah muda dan biru. Selain kertas, sebagai penunjang, mainan tradisional itu juga dilengkapi dengan potongan bambu.

Cara memainkan dolanan tradisional buatan Mbah Atmo ini sangat sederhana. Misalkan saja otok-otok, mainan jenis ini hanya diputar-putar dan otomatis akan menghasilkan bunyi “tok-otok-otok”. Atau misalnya saja kitiran. Permainan ini dimainkan dengan mengandalkan daya angin.

Mbah Atmo kemudian mengambil satu Kitiran dan mempraktikkan cara memainkannya. Ia memegang ujung mainan lalu mulai menggerakkan ke kiri dan ke kanan. Baling-baling kertas berputar. Ia menyunggingkan senyum. Dua giginya terlihat jelas. Wajahnya berseri seakan membayangkan betapa bahagianya masa kanak-kanak zaman dahulu.

Mbah Atmo sendiri sudah puluhan tahun menjaga “warisan leluhur” itu supaya tetap ada dan lestari. Keterampilan membuat mainan tradisional anak-anak itu ia peroleh turun temurun dari sang ibu. Tahun pastinya lupa. Ia hanya menyebutkan mulai membuat dolanan tradisional sejak tahun “gegeran Londo.”

“Sudah puluhan tahun. Sejak saya masih kecil, diajari ibu membuat mainan ini,” ujar Mbah Atmo, mengenang.

Dikatakan, zaman dimana permainan tradisional masih banyak peminatnya, Mbah Atmo mengaku sempat berjualan keliling menuju pasar – pasar tradisional. Seperti ke Mangiran, Barongan hingga pasar Godean Sleman.

“Jualan keliling jalan kaki. Berangkat dari rumah jam satu malam. Kadang juga jam tiga malam. Sekarang sudah tua. Dirumah saja,” tuturnya, lalu terkekeh.

Kini, di rumahnya yang sederhana, Mbah Atmo membuka semacam showroom kecil dan berisikan sejumlah mainan tradisional yang merupakan hasil dari buah tangannya. Mainan tradisional kreasi dari Mbah Atmo itu dijual dengan harga yang relatif murah. Misalkan saja otok-otok, dijual dengan harga Rp 3.000,-. Wayang kertas Rp 10.000,- dapat tiga. Ada pula angkrek, kurungan, kitiran dan kluntungan, yang masing-masing dihargai Rp 2.500,-.

Meski dijual murah, nyatanya tidak setiap hari mainan tradisional ini laku terjual. Kata Mbah Atmo, pembeli biasanya datang dari guru yang mengajak anak-anak sekolah datang ke rumahnya.

“Itu pun tidak setiap hari. Kadang seminggu sekali. Kadang juga sebulan sekali,” ujar dia. (*)

 

Sumber : Artikel tahun 2019 www.tribunnews.com

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X