Badan Usaha

Kepala Dilepas, Ekor Dipegang (Bagian I)

pada

Panggungharjo (Harianjogja.com) – Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Panggung Lestari milik Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul terpaksa menyetop pasokan energi terbarukan dari minyak goreng bekas alias jelantah ke perusahan multinasional Danone untuk air minum dalam kemasan Aqua di pabrik cabang Klaten, Jawa Tengah karena terbentur regulasi. Praktik baik menerapkan energi baru terbarukan di sektor riil masih jauh panggang dari api. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Bhekti Suryani.

Laba-laba bersarang di perangkat mesin pengolah minyak goreng bekas di salah satu tempat pengolahan limbah di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, pertengahan Agustus lalu. Beberapa tangki penampung minyak goreng bekas yang biasa disebut jelantah itu kosong. Tak ada aktivitas pengolahan minyak jelantah menjadi bio energi atau energi nabati di tempat ini. Mesin itu mangkrak sejak pertengahan 2018.

“Hanya digunakan kadang-kadang kalau ada pesanan,” tutur Eko Pambudi, Direktur BUMDes Panggung Lestari milik Desa Panggungharjo.

Sebelum mangkrak pada pertengahan 2018, mesin pengolah minyak jelantah menjadi bio energi atau disebut teknologi Refined Used Cooking Oil (R-UCO) alias pemurnian minyak goreng bekas yang berasal dari kelapa sawit itu aktif memasok bahan bakar nabati ke pabrik perusahaan air minum dalam kemasan Aqua cabang Klaten Jawa Tengah, sejak 2016. Minyak jelantah dengan teknologi R-UCO ini menghasilkan bio energi dengan residu hanya 0,5 mikron.

“Order pertama Januari 2016. Rata-rata per bulan kami produksi 7.000 liter (bio energi dari minyak jelantah). Bahkan sampai 10.000 liter karena kami juga harus siapkan pasokan kalau ada tambahan permintaan dari Aqua atau ada pesanan dari tempat lain,” ungkap Eko saat ditemui di Kantor BUMDes Desa Panggungharjo.

Satu liter minyak jelantah yang sudah menjadi bahan bakar nabati dijual seharga Rp 7.250. Bahan bakar dengan kandungan 100% nabati itu, kata Eko, bisa memenuhi hingga 30% porsi penggunaan bahan bakar di pabrik Aqua Klaten. Sisanya sebanyak 70% masih menggunakan bahan bakar konvensional dari fosil atau minyak bumi. Bahan bakar ramah lingkungan itu digunakan untuk boiler (ketel uap) serta forklift yang digunakan untuk proses produksi air minum kemasan.

Aqua berkomitmen menyerap minyak jelantah berbasis nabati dari Panggungharjo. Selain membantu usaha mikro kecil sekelas BUMDes juga komitmen perusahaan mutinasional itu kepada lingkungan. Dalam pemaparan jajaran Aqua saat pengenalan energi terbarukan dari minyak jelantah 2017 lalu di Panggungharjo, penggunaan bio energi sebesar 20% saja disebut mampu mengurangi hingga 107 ton karbon per tahun.

“Selama kerja sama juga tidak ada masalah dengan dampak bio energi ini pada mesin pabrik, karena nyatanya pasokan terus berlanjut bahkan kami dikabari, cabang Aqua yang lain juga akan menggunakan minyak jelantah ini juga ke depannya,” Eko bersemangat menceritakan kerja sama Pemerintah Desa Panggungharjo dengan Aqua.

Namun Eko kesal setelah permintaan pasokan bahan bakar berhenti pertengahan 2018. Musababnya kata Eko, Peraturan Menteri ESDM No. 41/2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Melalui peraturan anyar itu, industri atau perusahaan diwajibkan menggunakan biosolar atau solar yang sudah mengandung bio energi sebesar 20% atau biasa disebut B20 dalam industrinya. B20 itu dicampur dengan BBM solar untuk kegiatan industri.

“Padahal B20 itu unsur bio-nya hanya 20 persen. Kalau R-UCO 100 persen bio dan itu dari limbah. Daripada pemerintah dan perusahaan hanya menanam kelapa sawit, lebih baik limbahnya juga digunakan kembali untuk bahan bakar. Karena R-UCO ini satu persoalan limbah minyak goreng bekas di desa ini selesai. Selain ramah lingkungan karena enggak menyebabkan polusi,” kata Eko terdengar kesal.

Kekesalan Eko semakin bertambah karena inisiatif baik desanya memproduksi limbah jelantah menjadi bio energi tak mendapat ruang regulasi dari pemerintah.

“Pemerintah maunya hanya pakai B20 dari Pertamina, tapi dari masyarakat sekelas UMKM meski pun itu energi terbarukan tidak diberi perhatian baik regulasi maupun subsidi,” kata dia. Kini, produksi minyak jelantah dari BUMDes Panggung Lestari anjlok. Dalam waktu sebulan atau dua bulan sekali hanya diproduksi sekitar 1.000 liter bio energi apabila ada pesanan dari luar.

Eko berharap ada regulasi yang benar-benar berpihak pada UMKM terkait penerapan energi terbarukan. Ia juga mengkritik gaung pemerintah soal energi terbarukan yang kenyataannya tak sesuai di lapangan.

“Iki seperti diculke sirahe nanging tetep digondeli buntute (ini seperti dilepas kepalanya tapi dipegangi ekornya-analogi setengah hati dalam penerapan energi terbarukan),” tutur dia. Bersambung ke bagian II (Bhekti Suryani)

Sumber: Artikel tahun 2019 jogjapolitan.harianjogja.com

Tentang Fajar Budi Aji

Hanya seorang yang beranjak tua dan terus mencoba untuk lebih dewasa tanpa menghilangkan rasa kekanak-kanakannya. "Urip Iku Urup" dan "Rasah Wedi Dirasani Karena Hidup Banyak Rasa" Dua motto andalan inilah yang dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Baca Juga

1 Komentar

  1. Pingback: Kepala Dilepas, Ekor Dipegang (Bagian II) - Panggungharjo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X